Pages

Senin, 23 Februari 2009

SALAH MENGASUH ANAK MEMICU GANGGUAN JIWA

1. Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya , anak menjadi egois dan ingin menang sendiri, anak mudah menuntut orang tua untuk memenuhi keinginannnya, lekas berkecil hati, tidak tahan kekecewaan. Ingin menarik perhatian dengan cara - cara yang tidak normatif. Kurang memiliki rasa bertanggung jawab. Cenderung menolak peraturan dan minta di perlakukan secara berbeda.

2. Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus tunduk saja” Kurang berani dalam pekerjaan, cenderung lekas menyerah. Bersikap pasif dan bergantung kepada orang lain. Ingin menjadi “anak emas” dan menerima saja segala perintah. Menjadi takut mengambil keputusan, takut berbuat salah, mensikapi kegagalan sebagai sebuah bencana besar

3. Penolakan (anak tidak disukai) Merasa gelisah dan diasingkan. Bersikap melawan orang tua dan mencari bantuan kepada orang lain. Tidak mampu memberi dan menerima kasih-sayang.

4. Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi Menilai dirinya dan hal lain juga dengan norma yang terlalu keras dan tinggi. Sering kaku dan keras dalam pergaulan. Cenderung menjadi sempurna (“perfectionnism”) dengan cara yang berlebihan. Lekas merasa bersalah, berdosa dan tidak berarti.

5. Disiplin yang terlalu keras Menilai dan menuntut dari pada dirinya juga secara terlalu keras. Agar dapat meneruskan dan menyelesaikan sesuatu usaha dengan baik, diperlukannya sikap menghargai yang tinggi dari luar.

6. Disiplin yang tak teratur atau yang bertentangan Sikap anak terhadap nilai dan normapun menjadi tidak teratur. Kurang tetap dalam menghadapi berbagai persoalan didorong kesana kemari antara berbagai nilai yang bertentangan.

7. Masa remaja
Masa remaja dikenal sebagai masa mengkhawatirkan dalam perkembangan kepribadian, sebagai masa “badai dan stres”. Dalam masa ini individu menghadapi pertumbuhan yang cepat, perubahan-perubahan fisik dan kematangan sexual. Pada waktu yang sama status sosialnya juga mengalami perubahan, bila dahulu ia sangat tergantung kepada orangtuanya atau orang lain, sekarang ia harus belajar berdiri sendiri dan bertanggung jawab yang membawa masalah : pernikahan, pekerjaan dan status sosial umum. Kebebasan yang lebih besar membawa tanggung jawab yang lebih besar pula. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan bahwa ia harus mengubah konsep tentang diri sendiri. Tidak jarang terjadi “krisis identitas” (Erikson, 1950).

Ia harus memantapkan dirinya sebagai seorang individu yang berkepribadian lepas dari keluarganya, ia harus menyelesaikan masalah pendidikan, pernikahan dan kehidupan dalam masyarakat. Bila ia tidak dibekali dengan pegangan hidup yang kuat, maka ia akan mengalami “difusi identitas”, yaitu ia bingung tentang “siapa sebenarnya dia” dan “untuk apa dia hidup ”. Sindroma ini disebut juga “anomi”, remaja merasa terombang ambing, terapung-apung dalam hidup ini tanpa tujuan tertentu. Banyak remaja sebenarnya tidak memberontak, akan tetapi hanya sekedar sedang mencari arti dirinya sendiri serta pegangan hidup yang berarti bagi mereka.

Hal “badai dan stres” bagi kaum remaja ini sebagian besar berakar pada struktur sosial suatu masyarakat. Ada masyarakat yang membantu para remaja ini dengan adat-istiadatnya sehingga masa remaja dilalui tanpa gangguan emosional yang berarti. Kebanyakan kebutuhan kita hanya dapat diperoleh melalui hubungan dengan orang-orang lain. Jadi cara kita berhubungan dengan orang lain sangat mempengaruhi kepuasan hidup kita. Kegagalan untuk mengadakan hubungan antar manusia yang baik mungkin berasal dari dan mengakibatkan juga kekurang partisipasi dalam kelompok dan kekurangan identifikasi dengan kelompok dan konformitas (persesuaian) yang berlebihan dengan norma-norma kelompok (seperti dalam “gang” atau perkumpulan-perkumpulan rahasia para remaja). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kemampuan utama dalam hidup dan dalam menyesuaikan diri memerlukan “penerapan” tentang beberapa masalah utama dalam hidup, seperti pernikahan, peran sebagai orang tua, pekerjaan dan hari tua. Di samping kemampuan umum ini dalam bidang fisik, emosional, sosial dan intelektual, kita memerlukan persiapan menghadapi masalah. Masalah yang mungkin akan dihadapi dalam berbagai masa kehidupan kita.

8. Faktor sosiologik dalam perkembangan yang salah
Alfin Toffler mengemukakan bahwa yang paling berbahaya di zaman modern, di negara-negara dengan “super-industrialisasi”, ialah kecepatan perubahan dan pergantian yang makin cepat dalam hal “sementara” (“transience”), “pembaruan” (“novelty”) dan “keanekaragaman” (“diversity”). Dengan demikian individu menerima rangsangan yang berlebihan sehingga kemungkinan terjadinya kekacuan mental lebih besar. Karena hal ini lebih besar kemungkinannya dalam masa depan, maka dinamakannya “shok masa depan” (“future shock”).

Telah diketahui bahwa seseorang yang mendadak berada di tengah-tengah kebudayaan asing dapat mengalami gangguan jiwa karena pengaruh kebudayaan ini yang serba baru dan asing baginya. Hal ini dinamakan “shock kebudayaan” (“culture shock”). Seperti seorang individu, suatu masyarakat secara keseluruhan dapat juga berkembang ke arah yang tidak baik. Hal ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan fisik (umpamanya daerah yang dahulu subur berubah menjadi tandus) ataupun oleh keadaan sosial masyarakat itu sendiri (umpanya negara dengan pimpinan diktatorial, diskriminasi rasial. Religius yang hebat, ketidakadilan sosial, dan sebagainya). Hal-hal ini merendahkan daya tahan frustasi seluruh masyarakat (kelompok) dan menciptakan suasana sosial yang tidak baik sehingga para anggotanya secara perorangan dapat menjurus ke gangguan mental. Faktor-faktor sosiokultural membentuk, baik macam sikap individu dan jenis reaksi yang dikembangkannya, maupun jenis stres yang dihadapinya.


2 komentar :

Jika anda merasa tersesat di blog ini, mohon beri komentar sebagai perbaikan kualitas postingan.