BATAM--MIOL: Pemerintah hanya mengalokasikan anggaran di bawah 1% untuk penyakit jiwa (mental health) dari total anggaran kesehatan di Indonesia.
Jika dibandingkan dengan Thailand yang mengalokasikan dana untuk penyakit jiwa sebesar 3%, Australia 8%, dan negara maju di atas 10%, persentase anggaran kesehatan jiwa di Indonesia sangat kecil, bahkan yang terkecil di Asia. Seperti diungkapkan oleh Irmansyah, Ketua Umum Panitia Penyelenggara Konferensi Nasional Skizofrenia IV di Batam, Minggu (19/11).
Acara yang berlangsung selama tiga hari, 17-19 November, dihadiri para dokter kesehatan jiwa, pers, dan pemerhati kesehatan. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta orang. Kecilnya anggaran untuk menangani pasien sakit jiwa juga berdampak pada pelayanan kesehatan di rumah sakit jiwa.
Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), saat ini hanya tersedia sekitar 8.500 tempat tidur di rumah sakit jiwa seluruh Indonesia. Demikian juga dengan tenaga medis, seperti dokter jiwa, saat ini hanya sekitar 500 orang, yang menangani 2.500 pasien. Hal ini berbeda dengan kondisi di Thailand. Setiap dokter jiwa hanya menangani satu pasien gangguan jiwa, sehingga pemantauannya lebih mudah. Padahal reputasi dokter kesehatan jiwa Indonesia cukup baik dalam menangani pasien gangguan jiwa. ''Para dokter kesehatan jiwa di Indonesia mampu menangani pasien gangguan jiwa dengan tingkat kesembuhan mencapai 70%,'' kata Irwansyah.
Hanya saja, penanganan gangguan jiwa ini menjadi tidak maksimal karena minimnya dana dan sumber pendukung untuk melakukan riset lebih lanjut. Akibatnya, banyak kasus gangguan jiwa yang pada akhirnya tidak dapat tertangani secara konsisten. ''Untuk menangani gejala gangguan jiwa, para psikiatri Indonesia mampu menanganinya dengan baik. Sebagai contoh menangani pasien skizofrenia, penyakit kejiwaan yang menyerang fungsi kognitif otak, para psikiatri Indonesia telah melakukan riset dan penanganan yang lebih baik dibandingkan dokter luar negeri,'' kata Irmansyah.
Penanganan dini Dalam kesempatan sama, Ketua Umum PDKSJI HM Syamsulhadi mengatakan, meskipun penyakit gangguan jiwa belum bisa disembuhkan 100%, para dokter telah melakukan pertemuan dan tukar informasi terkini dalam penanganan dini penyakit jiwa. Pasalnya, banyak penanganan pasien gangguan jiwa di masyarakat yang salah. Sebagai contoh, masyarakat melakukan pemasungan, mengurung penderita gangguan jiwa, dan memperlakukan dengan tidak manusiawi.
Bahkan keluarga dengan sengaja 'membuang' anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Demikian juga ketika keluarga mengetahui salah satu anggotanya mulai menampakkan gejala gangguan jiwa, dianggap kemasukan roh halus. Masyarakat memilih membawanya ke dukun, bukan ke dokter jiwa. ''Tukar informasi terkini itu cukup penting untuk menambah pengetahuan di bidang kedokteran jiwa. Dan dokter jiwa pun masih terus berusaha untuk memberikan arti bagi kesembuhan pasien gangguan jiwa,'' ungkapnya.
sumber : http://www.depkes.go.id
Jika dibandingkan dengan Thailand yang mengalokasikan dana untuk penyakit jiwa sebesar 3%, Australia 8%, dan negara maju di atas 10%, persentase anggaran kesehatan jiwa di Indonesia sangat kecil, bahkan yang terkecil di Asia. Seperti diungkapkan oleh Irmansyah, Ketua Umum Panitia Penyelenggara Konferensi Nasional Skizofrenia IV di Batam, Minggu (19/11).
Acara yang berlangsung selama tiga hari, 17-19 November, dihadiri para dokter kesehatan jiwa, pers, dan pemerhati kesehatan. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta orang. Kecilnya anggaran untuk menangani pasien sakit jiwa juga berdampak pada pelayanan kesehatan di rumah sakit jiwa.
Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), saat ini hanya tersedia sekitar 8.500 tempat tidur di rumah sakit jiwa seluruh Indonesia. Demikian juga dengan tenaga medis, seperti dokter jiwa, saat ini hanya sekitar 500 orang, yang menangani 2.500 pasien. Hal ini berbeda dengan kondisi di Thailand. Setiap dokter jiwa hanya menangani satu pasien gangguan jiwa, sehingga pemantauannya lebih mudah. Padahal reputasi dokter kesehatan jiwa Indonesia cukup baik dalam menangani pasien gangguan jiwa. ''Para dokter kesehatan jiwa di Indonesia mampu menangani pasien gangguan jiwa dengan tingkat kesembuhan mencapai 70%,'' kata Irwansyah.
Hanya saja, penanganan gangguan jiwa ini menjadi tidak maksimal karena minimnya dana dan sumber pendukung untuk melakukan riset lebih lanjut. Akibatnya, banyak kasus gangguan jiwa yang pada akhirnya tidak dapat tertangani secara konsisten. ''Untuk menangani gejala gangguan jiwa, para psikiatri Indonesia mampu menanganinya dengan baik. Sebagai contoh menangani pasien skizofrenia, penyakit kejiwaan yang menyerang fungsi kognitif otak, para psikiatri Indonesia telah melakukan riset dan penanganan yang lebih baik dibandingkan dokter luar negeri,'' kata Irmansyah.
Penanganan dini Dalam kesempatan sama, Ketua Umum PDKSJI HM Syamsulhadi mengatakan, meskipun penyakit gangguan jiwa belum bisa disembuhkan 100%, para dokter telah melakukan pertemuan dan tukar informasi terkini dalam penanganan dini penyakit jiwa. Pasalnya, banyak penanganan pasien gangguan jiwa di masyarakat yang salah. Sebagai contoh, masyarakat melakukan pemasungan, mengurung penderita gangguan jiwa, dan memperlakukan dengan tidak manusiawi.
Bahkan keluarga dengan sengaja 'membuang' anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Demikian juga ketika keluarga mengetahui salah satu anggotanya mulai menampakkan gejala gangguan jiwa, dianggap kemasukan roh halus. Masyarakat memilih membawanya ke dukun, bukan ke dokter jiwa. ''Tukar informasi terkini itu cukup penting untuk menambah pengetahuan di bidang kedokteran jiwa. Dan dokter jiwa pun masih terus berusaha untuk memberikan arti bagi kesembuhan pasien gangguan jiwa,'' ungkapnya.
sumber : http://www.depkes.go.id
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Jika anda merasa tersesat di blog ini, mohon beri komentar sebagai perbaikan kualitas postingan.